
Awalnya, adalah pertengkaran antara kedua orang tuanya. Ayahnya mengancam untuk bunuh diri bersama salah satu anaknya. Ibunya memilih untuk meredam pertengkaran dan kembali menjadi isteri. Tak berhenti, seperti api dalam sekam, emosi bisa bangkit seketika, ego bisa menjadi tuan dalam sekejap.
Pertengkaran muncul lagi, dan kini sang ayah mengambil tindakan di luar perikemanusiaan. Membawa anaknya ke rel kereta, meletekannya dan membiarkannya terlindas kereta api.
Seolah sang ayah bisa sembuh luka emosinya dengan melihat anaknya yang terlindas kakinya. Padahal, sesungguhnya, luka emosinya makin dalam, sedalam-dalamnya; sesungguhnya dia tak hanya sedang melukai anaknya, akan tetapi dia sedang membangun kuburan emosinya sendiri.
Tegar, nama anaknya, setegar saat ini; bertanya kepada ibunya…
“dimana kaki saya…?”
Ibunya tak bisa menjawab. Dia tak bisa mengembalikan kaki Tegar, yang dia bisa adalah memberikan kasih sayang lebih kepadanya. Tanpa kaki tapi dengan kasih sayang, bisa jadi Tegar akan setegar sosoknya.
Ayahnya kini entah dimana, bersembunyi dengan luka emosi yang setiap detik akan semakin menganga. Entah pengadilan apa yang akan dilaluinya di dunia dan entah pula di akhirat kelak.